Sabtu, 16 Maret 2013


Ekonomi Islam memiliki dasar keadilan dalam pelaksanaannya. Keadilan seperti apakah itu?
Kita ambil contoh dalam perbankan misalnya. Sebelumnya mungkin ada yang bertanya, mengapa mayoritas  orang cenderung lebih memahami (setidaknya mengetahui) bank konvensial daripada bank syariah (Islam)? Jawabannya mudah, karena munculnya bank konvensional memang lebih dulu dibanding bank syariah.

Selama ini kita telah mengetahui bahwa bank konvensional memberlakukan bunga dalam transaksinya.
Misalnya seseorang meminjam dana di bank sebesar 10 juta untuk usaha. Bank memberlakukan bunga sebesar 15% persen per tahun. So, seseorang tadi harus menyetor bunga sebesar 15% dari 10 juta. Hal tersebut tidak mempedulikan bagaimana perkembangan usaha orang tadi, mengalami untung atau rugi.

Di bank syariah, ada istilah bagi hasil sebagai pengganti bunga.
Misalnya seseorang yang meminjam dana dengan jumlah yang sama sebesar 10 juta untuk usahanya, membuat kesepakatan lebih dulu tentang bagi hasil yang akan diterima kedua belah pihak. Anggaplah prosentase antara bank dan nasabah sebesar 25:75, maka bank akan menerima hasil 1/4 dan nasabah 3/4 dari keuntungan usaha tersebut. Lebih jelasnya, dengan dana 10 juta tadi misalkan memperoleh laba 4 juta, maka bank memperoleh 1 juta dan 3 juta sisanya menjadi milik utuh nasabah.
Fahimtum? :)

Begini,
dalam bank konvensional, jika usahanya memiliki laba kecil, maka bunganya tetap. Dalam hal ini bank yang diuntungkan. Namun jika dan laba usahanya besar, bunganya pun masih tetap. Di sini, nasabah yang diuntungkan. Why? Karena yang dijadikan patokan adalah uang pokoknya.
Dalam bank syariah, yang digunakan adalah hasil dari keuntungan usaha tersebut. So, besar kecilnya hasil yang didapat mengikuti penngkatan laba yang dihasilkan usaha tersebut.

Bank syariah yang ada sekarang ini memang belum sepenuhnya memenuhi keseluruhan aspek syariah. Namun, bukan berarti kita harus menghindarinya. Kita perlu mengapresiasi dan memberi dukungan. Setidaknya, bank-bank tersebut sudah dalam “proses menuju”.

Analoginya nih, seperti kalau kamu belum bisa sholat dengan khusyu’. Apakah jika sholatmu belum khusyu’ lantas kamu akan meninggalkannya (tidak menjalankan)? Tentunya tidak kan? :D
So, adalah tugas kita untuk terus memperjuangkan ekonomi Islam :)


--

Seputar diskusi:

Manusia hanyalah sebagai khalifah di bumi, bukan pemilik. Semuanya dimiliki oleh Allah semata.
Jika kita ‘merasa’ memiliki sesuatu, maka kepemilikan itu hanyalah temporer (sementara).
Di ekonomi konvensional, kita mengenal istilah ultimated ownwerhip, dimana kita berhak secara penuh atas apa yang kita miliki. Contoh simpelnya, kamu membeli sebotol air minum. Entah karena alasan apa, kamu membuangnya. Mungkin tidak akan ada orang yang menyalahkan kamu karena air itu milik kamu sendiri. Apapun yang kamu perbuat terhadapnya, itu hakmu secara penuh.

Namuuuun,...
dalam ekonomi Islam kepemilikan kita adalah non-full. Artinya, kita harus memperlakukan setiap yang kita miliki sesuai dengan perintah Allah. Dari contoh air tadi, cobalah kita ingat bahwa itu adalah nikmat yang diberikan Allah pada kita. Maka sudah seyogyanya kita menggunakan dengan baik, bukan menyia-nyiakan, berlaku mubadzir, atau tindakan lain yang tidak sesuai dengan aturan-Nya.

-

Mungkin ada yang bertanya mengapa pembiayaan dalam bank syariah lebih mahal daripada bank konvensional? Begini analoginya. Dalam sebuah pasar, ada penjual daging ayam. Tidak ada perbedaan kualitas pada daging ayam itu, namun penjual membedakan harganya. Salah satunya lebih mahal. Karena tidak ada perbedaan kualitas, pembeli memilih harga yang murah. Mayoritas dari kita juga begitukah? :D. Namun, seseorang memberitahu bahwa daging yang lebih murah tersebut ternyata disembelih dengan cara yang tidak sesuai syariat –tidak menyebut nama Allah saat menyembelih misalnya. Maka, pembeli tadi beralih pada harga yang lebih mahal. Apa alasannya? Empat huruf jawabannya: IMAN. Yup, keimanan memang tidak bisa dibeli. It’s very expensive.
Do you understand? :)

-

“Bayarlah upah pekerja, sebelum kering keringatnya” (Al-Hadits), mempunyai pesan implisit untuk peningkatan GDP. How?
Ingat rumus MV = PT? (money.velocity = price.transaction).
Transaction disebut juga sebagai Y (output). Jadi, PT = GDP.

Anggaplah nilai M tetap, maka untuk meningkatkan nilai GDP diperlukan peningkatan pada nilai V. Kembali pada hadits di atas, maka pesan pada membayar upah sebelum kering keringatnya adalah melakukan pembayaran dengan segera, dengan cepat. Semakin besar V, GDP akan meningkat. Kecepatan dalam pembayaran tersebut akan memberi kontribusi pada peningkatan output. Coba bayangkan jika pembayaran tersebut terhambat, maka kemungkinan produksi akan mengalami stagnasi, bahkan kemunduran. Selain itu, pesan lainnya adalah mempercepat transaksi dengan penggunaan teknologi.



Kesempurnaan hanya milik Allah. Mohon koreksinya jika ada kesalahan.
Semoga bermanfaat


dari pemaparan Bapak Dr. Raditya Sukamana dalam kajian Rutin Ekonomi Islam dengan bahasan "Apa itu Ekonomi Islam? Bagaimana belajar Ekonomi Islam?"
Jumat, 15 Maret 2013 di ruang 601 FEB UA.

0 komentar: