METODE MANAJEMEN WAQAF BAGI LINKAGE PROGRAM SEBAGAI
PEMBERANTAS KEMISKINAN DI INDONESIA
DISUSUN
DALAM RANGKA :
LOMBA KARYA TULIS EKONOMI ISLAM (LKTEI)
DINAR 2011 STEI TAZKIA
OLEH :
1.
Ahmad
Musabbihin (041011009)
2.
Nurul
Ain (041014025)
3.
Muchammad
Primadion S. (040810016)
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2011
BAB
I
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Usaha
mikro, kecil dan menengah (UMKM) di Indonesia dapat merangsang kegiatan
kewirausahaan yang lebih besar di negeri ini, yang akan mendukung munculnya pengusaha tangguh yang
dapat membantu mempercepat perekonomian Indonesia.
Memulai usaha kecil dan menengah
adalah salah satu cara yang paling efektif untuk menciptakan lapangan kerja dan
mengurangi tingkat pengangguran. UMKM adalah salah satu pilar perekonomian
Indonesia. Mereka telah terbukti berhasil bertahan selama krisis Asia. Ketika
banyak perusahaan besar bangkrut
selama krisis dengan meninggalkan
sejumlah besar utang buruk, sebagian besar UMKM Indonesia berhasil mengelola
bisnis mereka dan membayar kewajiban mereka. Oleh karena itu, kolaborasi antar instansi pemerintah
terkait, otoritas perbankan, dan akademisi, untuk memulai kondisi yang kondusif
bagi upaya pengembangan UMKM, tidak bisa dihindari. Sementara itu, pemerintah menghadapi defisit anggaran hampir
setiap tahun sejak tahun 1997, yang
berarti bahwa pemerintah mungkin merasa sulit untuk menutup pengeluaran rutin. Item-item balance sheet biasa memerlukan dana yang jumlahnya begitu besar yang pemerintah tidak
dapat menyediakan dana yang cukup untuk kebutuhan strategis lainnya, seperti pendidikan yang baik, kesehatan yang tepat, dan pengembangan UMKM.
Masalah
permodalan, baik keterbatasan kepemilikan modal maupun kesulitan dalam
mengakses sumber pembiayaan, sampai saat ini masih merupakan kendala bagi UMKM
dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya. Permasalahan lain yang dihadapi
oleh UMKM di bidang pembiayaan antara lain : a). Masih rendahnya kredibilitas UMKM
dari sudut analisis perbankan. b). Persyaratan administrasi dan prosedur
pengajuan usulan pembiayaan yang rumit dan birokratis. c). Adanya persyaratan
kesediaan jaminan berupa agunan yang sulit untuk dipenuhi oleh UMKM. d).
Informasi yang kurang merata (asimetri) tentang layanan perbankan dan lembaga
keuangan yang dapat dimanfaatkan oleh UMKM. e) keterbatasan jangkauan pelayanan
dari lembaga keuangan, khususnya perbankan.
Untuk mengatasi kendala di bidang pembiayaan tersebut, maka
perlu dilakukan upaya peningkatkan dan perluasan akses kepada sumber-sumber pembiayaan,
Linkage Program adalah
program pembiayaan yang bersifat kemitraan. Yaitu bank syariah mengeluarkan
pembiayaan ke sektor riil secara tidak langsung. Pembiayaan ini disalurkan
lewat agen atau perusahaan mitra (istilahnya two
steps financing). Perusahaan mitra yang menjadi partner bank syariah bisa
berupa Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), Multifinance dan Lembaga Keuangan
Mikro Syariah seperti Koperasi Jasa keuangan Syariah (KJKS), Unit Jasa Keuangan
Syariah (UJKS), Koperasi pesantren (Kopontren) dan Baitul Mal wat Tamwil (BMT).
Bank syariah juga bisa melakukan Linkage Program dengan
lembaga non keuangan seperti perusahaan perkebunan inti plasma atau perusahaan franchise. yang saling
mendukung, memperkuat serta menguntungkan
dengan pola syariah.
Untuk mengoptimal sistem ini maka harus ada sistem yang mendukung linkage
program yaitu dengan manajemen
wakaf.
Salah satu
solusi yang potensial untuk kebutuhan dana yang cukup untuk kebutuhan publik
adalah dana wakaf, yang hasil dari sumbangan masyarakat. Orang-orang (ummat)
menyumbangkan uang mereka sebagai wakaf tunai oleh pembelian sertifikat wakaf
tunai. Dana yang dikumpulkan akan kemudian diinvestasikan dalam berbagai
portofolio investasi, dimana keuntungan dapat dibelanjakan untuk kebutuhan
masyarakat tersebut di atas. Keuntungan yang diperoleh juga akan digunakan
untuk mendanai program-program pemberantasan kemiskinan, sementara prinsipnya
akan diinvestasikan kembali di berbagai peluang investasi yang sangat
menguntungkan. Di beberapa negara, wakaf pengelolaan dana telah efektif
mengurangi kemiskinan dan kesejahteraan rakyat ditingkatkan, dengan menyediakan
dana tambahan untuk program-program pengembangan pendidikan & kesehatan,
rumah murah & fasilitas umum program pembangunan, dan sebagainya. Waqif
menyumbangkan / uangnya sebagai dana wakaf untuk Mauquf'alaih (orang yang
berhak untuk mendapatkan manfaat dari dana wakaf) melalui Nadzir (seseorang /
lembaga yang bertugas untuk mengelola dana wakaf dan mendistribusikan hasil
investasi wakaf). Hanya keuntungan dari dana wakaf diinvestasikan akan dikirim ke Mauquf'alaih. Prinsip-prinsip
tetap menjadi diinvestasikan di peluang investasi yang potensial. Sehubungan
dengan perannya sebagai manajer investasi dana wakaf, Nadzir atas nama Wakaf
Institusi dapat mengalokasikan sebagian dana wakaf untuk membiayai bisnis UMKM berdasarkan
sistem bagi hasil. Semakin besar pengembalian investasi, dana lebih dapat dialokasikan
untuk program pengentasan kemiskinan (Masyita, 2005).
Hal itu lah yang
kemudian menggugah penulis untuk menawarkan suatu metode baru yaitu Metode Manajemen Waqaf Bagi Linkage Program Sebagai Pemberantas
Kemiskinan Di Indonesia, sebagai usaha
untuk menyajikan prinsip wakaf dan konsep dinamika sistem dengan pendekatan
keuangan mikro syariah praktis sehingga ini dapat efektif diterapkan pada
masalah-masalah manajerial. Dalam tulisan ini, saya akan berbicara tentang
hubungan antara awqaf terhadap sistem keuangan dan keuangan mikro syariah
ketimbang tentang hubungannya dengan ajaran agama Islam. Wakaf sebagai sektor
ketiga, harus mengatasi kompleksitas lingkungan bisnis baru dan meningkatnya
permintaan atas transparansi dan akuntabilitas. Namun, selama
bertahun-tahun, sektor ini menjadi terabaikan dan agak terlupakan. Pemodal
dunia mereka membagi organisasi dalam sektor pemerintah dan swasta. Mereka
sering mengabaikan awqaf sebagai sektor ketiga penting mewakili ceruk pasar
yang sangat potensial. (Dafterdar, 2007).
1.2 Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah kondisi kemiskinan di Indonesia?
2. Bagaimanakah penerapan Linkage
Program di Indonesia?
3.
Bagaimanakah metode
manajamen waqaf bagi Linkage Program sebagai
pemberantas kemiskinan?
1.3 Tujuan penulisan
Adapun
tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan karya tulis ini adalah :
1.
Untuk mengetaui kondisi
kemiskinan di Indonesia.
2.
Untuk mengetahui penerapan Linkage Program di Indonesia.
3.
Untuk mengetahui metode
manajamen waqaf bagi Linkage Program sebagai
pemberantas kemiskinan.
1.4 Manfaat penulisan
Adapun
manfaat yang diharapkan dapat dicapai
dalam penulisan karya tulis ini adalah :
- Bagi penulis
Dapat
meningkatkan kemampuan penulis dalam membuat karya tulis dan menambah wawasan
tentang metode manajemen waqaf untuk pengentasak kemiskinan.
- Bagi pembaca
Dapat
menambah wawasan serta dapat menjadikan karya tulis ini sebagai bahan
pertimbangan dalam mengatasi kemiskinan dengan menggunakan metode manajemen
waqaf.
- Bagi pemerintah
Dapat
dijadikan sebagai tambahan informasi dan pertimbangan dalam mengambil kebijakan
dan tindakan oleh pemerintah terkait dengan metode manajemen waqaf dalam Linkage Program
untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia.
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1
UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah)
2.1.1 Usaha Mikro
(Menurut
Keputusan Menkeu No. 40/KMK.06/2003, tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan
Kecil):
a.
Usaha
produktif milik keluarga atau perorangan Warga Negara Indonesia;
b.
Memiliki
hasil penjualan paling banyak Rp. 100 juta per tahun.
2.1.2 Usaha Kecil
(Menurut UU No. 9/1995, tentang
Usaha Kecil):
a.
Usaha
produktif milik Warga Negara Indonesia, yang berbentuk badan usaha orang
perorangan, badan usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan
hukum termasuk koperasi;
b.
Bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau
berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan Usaha Menengah atau
Besar;
c.
Memiliki
kekayaan bersih paling banyak Rp. 200 juta, tidak termasuk tanah dan bangunan
tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100 juta per
tahun.
Berdasarkan
Kepmenkeu No. : 571/KMK 03/2003 maka pengusaha kecil adalah pengusaha yang selama satu tahun buku
melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau jasa kena pajak dengan jumlah
peredaran bruto dan atau penerimaan bruto tak lebih dari Rp. 600 juta.
2.1.3 Usaha
Menengah
(menurut Inpres No. 10/1999, tentang
Pemberdayaan Usaha Menengah)
a.
Usaha produktif milik Warga Negara
Indonesia yang berbentuk badan usaha orang perorangan, badan
usaha yang tidak berbadan hukum, atau badan usaha berbadan hukum termasuk
koperasi;
Berdiri sendiri, dan bukan
merupakan anak perusahaan atau cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai atau
berafiliasi, baik langsung maupun tidak langsung, dengan Usaha Besar;
Memiliki kekayaan bersih lebih
besar dari Rp. 200 juta, sampai dengan Rp. 10 miliar, tidak termasuk tanah dan
bangunan tempat usaha, atau memiliki hasil penjualan paling banyak Rp. 100 juta
per tahun.
b.
Usaha Produktif (Menurut
Keputusan Menkeu No. 40/KMK.06/2003, tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan
Kecil) : Usaha pada semua sektor ekonomi yang dimaksudkan untuk dapat
memberikan nilai tambah dan meningkatkan pendapatan usaha.
Terdapat beberapa acuan definisi yang digunakan
oleh berbagai instansi di Indonesia, yaitu:
a.
UU No.9 tahun 1995 tentang
usaha kecil mengatur kriteria usaha kecil berdasarkan nilai aset tetap (di luar
tanah dan bangunan) paling besar Rp 200 juta dengan omzet per tahmaksimal Rp 1
milyar. Sementara itu berdasarkan Inpres No.10 tahun 1999 tentang usaha
menengah, batasan aset tetap (di luar tanah dan bangunan) untuk usaha menengah
adalah Rp 200 juta hingga Rp 10 milyar.
b.
BPS dan Kementerian Koperasi
dan UKM
menggolongkan suatu usaha sebagai usaha kecil jika memiliki omset kurang dari Rp 1 milyar per
tahun. Untuk usaha menengah, batasannya adalah usaha yang memiliki omset
antara Rp 1 sampai dengan Rp 50 milyar per tahun. Berdasarkan definisi
tersebut, data BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM pada tahun 2002 menunjukkan
populasi usaha kecil mencapai sekitar 41,3 juta unit atau sekitar
99,85 persen dari seluruh jumlah usaha di Indonesia; sedangkan usaha menengah
berjumlah sekitar 61,1 ribu unit atau 0,15 persen dari seluruh usaha di
Indonesia. Sementara itu persebaran UKM paling banyak berada di sektor
pertanian (60 persen) dan perdagangan (22 persen) dengan total penyerapan
tenaga kerja di kedua sektor tersebut sekitar 53 juta orang (68 persen
penyerapan tenaga kerja secara total).
c.
Kementerian Perindustrian
dan Perdagangan menetapkan bahwa industri kecil dan menengah adalah industri yang memiliki
nilai investasi sampai dengan Rp. 5 milyar. Sementara itu, usaha kecil di
bidang perdagangan dan industri juga dikategorikan sebagai usaha yang memiliki
aset tetap kurang dari Rp. 200 juta dan omzet per tahun kurang dari Rp. 1
miliar (sesuai UU No. 9 tahun 1995).
d.
Bank Indonesia menggolongkan UK dengan merujuk pada UU No.
9/1995, sedangkan untuk usaha menengah, BI menentukan sendiri kriteria aset
tetapnya dengan besaran yang dibedakan antara industri manufaktur (Rp. 200 juta
s/d Rp. 5 miliar) dan non manufaktur (Rp. 200 – 600 juta).
e.
Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan suatu usaha berdasarkan jumlah
tenaga kerja. Usaha kecil adalah usaha yang memiliki pekerja 1-19 orang; usaha
menengah memiliki pekerja 20-99 orang; dan usaha besar memiliki pekerja
sekurang-kurangnya 100 orang.
2.2 Manajemen Wakaf Produktif
Umumnya wakaf berupa properti seperti tanah dan
bangunan, namun demikian dewasa ini telah disepakati secara luas oleh para
ulama bahawa salah satu bentuk wakaf dapat berupa uang tunai. Secara umum
definisi wakaf tunai adalah penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak
dapat dipindahtangankan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak
mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya (substansi esensial
wakaf).
Sertifikat wakaf tunai merupakan semacam
dana abadi yang diberikan oleh individu maupun lembaga muslim yang mana
keuntungan dari pengelolaan dana tersebut akan digunakan untuk pengentasan
kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat miskin. Secara teknis,
sertifikat wakaf tunai ini dapat dikelola oleh suatu badan investasi sosial
tersendiri seperti halnya Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh
atau dapat juga menjadi salah satu produk dari institusi/perbankan syariah yang
ada.
Untuk lebih jelasnya tujuan sertifikat wakaf tunai
adalah sebagai berikut:
1.
Membantu dalam pemberdayaan tabungan
sosial.
2. Melengkapi
jasa perbankan sebagai fasilitator yang menciptakan Wakaf Tunai serta
3. membantu
pengelolaan wakaf yang mentransformasi
tabungan sosial menjadi modal
4. sosial.
5. Keuntungan
pengelolaannya untuk masyarakat miskin.
6. Menciptakan
kesadaran di kalangan orang-orang kaya mengenai tanggung jawab sosial mereka
terhadap masyarakat miskin.
7. Untuk
membantu mengembangkan sumber modal sosial.
8. Untuk
membantu pengembangan negara secara umum dan untuk menciptakan integrasi yang
unik antara keamanan sosial dan kedamaian sosial.
Institusi atau lembaga pengelola wakaf
pengertiannya berkaitan langsung dan tidak dipisahkan dari upaya-upaya
produktif dari aset wakaf. Inti ajaran yang terkandung dalam amalan wakaf itu
sendiri menghendaki agar harta wakaf itu tidak boleh hanya dipendam tanpa hasil
yang akan dinikmati oleh mawquf ‘alaih. Semakin banyak hasil harta wakaf yang
dapat dinikmati orang, akan semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada
pihak wakif. Berdasarkan hal tersebut, dari sisi hukum fikih, pengembangan
harta wakaf secara produktif merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh
pengelolanya (nadzir).
Dalam kitab Mughnil Muhtaj, oleh Syams
al-Dien Muhammad bin Ahmad al-Syarbaini dijelaskan tugas nadzir sebagai
berikut: “kewajiban dan tugas nadzir wakaf adalah: membangun, mempersewakan,
mengembangkannya agar berhasil dan mendistribusikan hasilnya itu kepada
pihak-pihak yang berhak, serta kewajiban memelihara modal wakaf dan hasilnya.”
Terdapat dua macam praktek wakaf yaitu
Wakaf Mutlaq dan Wakaf Muqayyad. Wakaf mutlaq adalah praktek wakaf di mana
wakif menyerahkan sepenuhnya kepada si wakif untuk mengelolanya tanpa batas.
Adapun wakaf muqayyad adalah wakaf di mana wakif mensyaratkan agar harta yang
diwakafkan itu hanya boleh dikelola dengan cara tertentu dan diberikan kepada
pihak tertentu. Dalam praktek wakaf mutlaq, nadzir lebih leluasa melakukan
upaya-upaya produktif sehingga harta wakaf bisa berhasil lebih maksimal. Secara
historis, cara yang banyak ditempuh, sesuai dengan informasi dalam buku-buku
fikih, adalah dengan jalan mempersewakan harta wakaf. Hal ini sejalan dengan
kenyataannya bahwa kebanyakan harta wakaf adalah dalam bentuk al-‘iqar (harta
tak bergerak, seperti lahan pertanian dan bangunan).
Tujuan wakaf ialah rai’/hasil dari
manfaat wakaf yang diusahakan. Al-Malibary mengatakan: “penyaluran hasil wakaf
kepada yang diberi wakaf itulah yang menjadi tujuan wakaf.” Jadi wakaf
pertama-tama ialah membuahkan hasil yang dalam istilah fiqh disebut rai’.
Pengertian rai’ ialah: “semua faedah (hasil) dari yang diwakafkan seperti upah
(sewa) susu, anak hewan yang baru dikandung induknya sesudah diwakafkan, buah
yang baru timbul setelah diwakafkan dan dahan yang biasa dipotong.” Jika tujuan
wakaf itu merupakan hasil dari suatu kumpulan aset wakaf, maka substansi
esensial wakaf adalah suatu sistemasi upaya pengakumulasian dana abadi
masyarakat (yang hasil kelolaannya untuk masyarakat).
BAB
III
METODE PENULISAN
3.1. Teknik Pengumpulan Data
Data yang dimpulkan
meliputi data sekunder yang berasal dari internet, jurnal penelitian, hasil
survei, buku referensi atau artikel–artikel ilmiah dari sumber yang kredibel.
3.2. Teknik Pengolahan Data
Input => Proses => Output |
Input : Data yang dikumpulkan
meliputi data sekunder yang berasal dari jurnal penelitian dan hasil survei
baik cetak maupun elektronik (internet), literatur buku maupun dari situs-situs
koran online.
Proses : menganalisis data yang
terkumpul yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat dalam karya tulis.
Output : penyajian data berupa
makalah karya tulis
3.3. Teknik Analisis Data
Analisis
mengenai aplikasi sistem manajemen
wakaf bagi
Linkage Program sebagai upaya strategis untuk memberantas kemiskinan dan juga
turut membantu rencana strategis pemerintah yang dalam hal ini
direpresentasikan oleh Bank Indonesia dalam percaturan ekonomi Indonesia untuk
percepatan pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan perekonomian Indonesia.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1
Kondisi kemiskinan di Indonesia
Secara harfiah, kemiskinan berasal dari kata dasar
miskin yang artinya tidak berharta-benda (Poerwadarminta, 1976). Dalam
pengertian yang lebih luas, kemiskinan dapat dikonotasikan sebagai suatu
kondisi ketidakmampuan baik secara individu, keluarga, maupun kelompok sehingga
kondisi ini rentan terhadap timbulnya permasalahan sosial yang lain.
Hidup miskin bukan hanya berarti hidup di dalam
kondisi kekurangan sandang, pangan, dan papan. Akan tetapi, kemiskinan juga
berarti akses yang rendah dalam sumber daya dan aset produktif untuk memperoleh
kebutuhan-kebutuhan hidup, antara lain: ilmu pengetahuan, informasi, teknologi,
dan modal.
Dari berbagai sudut pandang tentang pengertian
kemiskinan, pada dasarnya bentuk kemiskinan dapat dikelompokkan menjadi tiga
pengertian, yaitu:
1.
Kemiskinan
Absolut. Seseorang dikategorikan termasuk ke dalam golongan miskin absolut
apabila hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup minimum, yaitu: pangan, sandang, kesehatan, papan, dan
pendidikan.
2.
Kemiskinan
Relatif. Seseorang yang tergolong miskin relatif sebenarnya telah hidup di atas
garis kemiskinan tetapi masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya.
3. Kemiskinan Kultural. Kemiskinan ini
berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau
berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain
yang membantunya.
Keluarga
miskin adalah pelaku yang berperan sepenuhnya untuk menetapkan tujuan,
mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi
kehidupannya. Ada tiga potensi yang perlu diamati dari keluarga miskin yaitu :
1.
Kemampuan
dalam memenuhi kebutuhan dasar, contohnya dapat dilihat dari aspek pengeluaran
keluarga, kemampuan menjangkau tingkat pendidikan dasar formal yang ditamatkan,
dan kemampuan menjangkau perlindungan dasar.
2. Kemampuan dalam melakukan peran sosial akan dilihat dari
kegiatan utama dalam mencari nafkah, peran dalam bidang pendidikan, peran dalam
bidang perlindungan, dan peran dalam bidang kemasyarakatan.
3.
Kemampuan
dalam menghadapi permasalahan dapat dilihat dari upaya yang dilakukan sebuah
keluarga untuk menghindar dan mempertahankan diri dari tekanan ekonomi dan non
ekonomi.
Kemiskinan merupakan masalah yang ditandai oleh
berbagai hal antara lain rendahnya kualitas hidup penduduk, terbatasnya
kecukupan dan mutu pangan, terbatasnya dan rendahnya mutu layanan kesehatan,
gizi anak, dan rendahnya mutu layanan pendidikan. Selama ini berbagai upaya
telah dilakukan untuk mengurangi kemiskinan melalui penyediaan kebutuhan
pangan, layanan kesehatan dan pendidikan, perluasan kesempatan kerja dan
sebagainya.
Jumlah
dan persentase penduduk miskin pada periode 1996-2009 berfluktuasi dari tahun
ke tahun (Tabel 1, Gambar 1, dan Gambar
2). Pada periode 1996-1999 jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 13,96 juta karena krisis
ekonomi, yaitu dari 34,01 juta pada tahun 1996 menjadi 47,97 juta pada tahun 1999. Persentase
penduduk miskin meningkat dari 17,47 persen menjadi 23,43 persen pada periode
yang sama.
Pada
periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta pada
tahun 2000 menjadi 35,10 juta pada tahun
2005. Secara relatif juga terjadi penurunan persentase penduduk miskin dari 19,14 persen pada tahun
2000 menjadi 15,97 persen pada tahun 2005.
Namun pada
tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari
35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75
persen) pada bulan Maret 2006. Penduduk miskin di daerah perdesaan bertambah
2,11 juta, sementara di daerah perkotaan bertambah 2,09 juta orang.
Table
4.1
Jumlah
dan Presentas Penduduk Miskin di Indonesia
menurut
Daerah, 1996-2008
Peningkatan jumlah dan persentase
penduduk miskin selama Februari 2005-Maret 2006 terjadi karena harga
barang-barang kebutuhan pokok selama periode tersebut naik tinggi, yang
digambarkan oleh inflasi umum sebesar 17,95 persen. Akibatnya penduduk yang
tergolong tidak miskin namun penghasilannya berada disekitar garis kemiskinan
banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin.
Gambar 4.1
Presentasi
Kemiskinan di Perkotaan, Pedesaan, dan Perkotaan+Pedesaan menurut Tahun
Sumber : diolah dari data Survey Sosial Ekonomi
Nasional (Susenas)
Terjadi
penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin yang cukup signifikan pada periode
Maret 2007-Maret 2008, dari 37,17 juta (16,58 persen) pada tahun 2007 menjadi
34,96 juta (15,42 persen) pada tahun 2008.
Gambar
4.2
Jumlah
penduduk miskin di Perkotaan, Pedesaan, dan
Perkotaan+Pedesaan menurut Tahun
Sumber : diolah dari data Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas)
4.1
Penerapan Linkage Program di Indonesia
4.1.1
Karakteristik Model Linkage Program
Linkage
Program adalah
program kerjasama antara bank umum termasuk bank umum peserta KUR dengan
koperasi dalam rangka meningkatkan akses pembiayaan Usaha Mikro dan Kecil
(UMK).
Koperasi,
yang dimaksud dalam Linkage Program ini adalah KSP/USP-Koperasi atau
KJKS/UJKS-Koperasi yang selanjutnya disebut Koperasi. Anggota Koperasi yang
dimaksud dalam Linkage Program ini adalah anggota tetap dan atau calon
anggota Koperasi (termasuk anggota yang memenuhi kriteria usaha mikro dan
kecil), yang keanggotaannya diatur didalam Anggaran Dasar atau Anggaran Rumah
Tangga masing-masing Koperasi.
Usaha
Mikro adalah usaha produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha
perorangan yang memenuhi kriteria Usaha Mikro sebagaimana diatur dalam Undang-undang,
dengan kriteria : Memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp.50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp.300.000.000,00 (tiga ratus
juta rupiah).
Usaha
Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri yang dilakukan oleh
orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau
bukan cabang perusahaan yang dimiliki, dikuasai, atau menjadi bagian baik
langsung maupun tidak langsung dari Usaha Menengah atau Usaha Besar yang
memenuhi kriteria, sebagai berikut :
Memiliki
kekayaan bersih lebih dari Rp.50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) sampai
dengan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha; atau Memiliki hasil penjualan tahunan lebih
dari Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak
Rp.2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta rupiah);
4.1.2 Kriteria
Koperasi Peserta Linkage Program Dengan Bank Umum Pola Syariah
Koperasi
Peserta Linkage Program Pola Syariah wajib memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1. Telah menggunakan sistem syariah;
2. Pengikatan menggunakan akad
syariah;
3. Sudah berbadan hukum minimal 2
(dua) Tahun;
4. Bagi hasil selama 2 (dua) tahun
terakhir positif;
5. Koperasi dengan outstanding pembiayaan
yang diberikan di atas Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah) wajib diaudit
oleh akuntan publik atau Koperasi Jasa Audit, dan diumumkan kepada anggotanya;
6. Non Performing Financing (NPF) maksimum 5 % (lima per
seratus);
7.
Mempunyai
anggota tetap dan/atau calon anggota minimal sebanyak 100 orang.
Penyaluran
dan Pemanfaatan Pembiayaan Linkage Program adalah sebagai berikut :
a.
Besar
kredit/pembiayaan yang dapat disalurkan kepada Peserta Linkage Program dengan
Bank Umum sesuai kesepakatan, sedangkan dengan Bank Umum peserta KUR diberikan
sampai dengan maksimal Rp. 500 juta dan kepada anggotanya maksimal Rp. 5 juta.
b.
Jenis
kredit/pembiayaan dan Jangka waktu permohonan sesuai kesepakatan dengan Bank
Umum, sedangkan dengan Bank Umum peserta KUR Jenis kredit/pembiayaan
diperuntukan bagi modal kerja dan jangka waktu maksimal 3 (tiga) tahun.
c.
Suku
bunga kredit/pembiayaan sesuai kesepakatan dengan Bank Umum , sedangkan Suku
bunga kredit/pembiayaan dengan Bank Umum peserta KUR maksimal 16 % (enam belas
per seratus) efektif/ per tahun.
d.
Biaya
administrasi dan provinsi kredit/pembiayaan dari Bank Umum peserta KUR tidak
dipungut.
e.
Koperasi
peserta Linkage Program wajib menyampaikan laporan realisasi penyaluran
kredit/pembiayaan kepada anggotanya paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak
tanggal penarikan.
4.1.3
MODEL LINKAGE PROGRAM
Identifikasi koperasi calon peserta Linkage Program dilakukan
oleh Kementerian Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Dinas/Badan yang
membidangi Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, Bank Umum, Instansi terkait
dan Lembaga Kemasyarakatan lainnya.
Pelaksanaan Model Linkage Program
antara bank umum syariah atau unit usaha syariah (BUS/UUS) dan koperasi syariah
adalah sebagai berikut :
a.
Model Executing
Risiko
pembiayaan kepada anggota koperasi, apabila kegagalan pembiayaan karena
kerugian bisnis secara normal (normal business loss), maka risiko
ditanggung oleh KJKS/UJKS-Koperasi.
Distribusi
pendapatan, sesuai dengan nisbah yang disepakati antara BUS/UUS dan
KJKS/UJKS-Koperasi. Penentuan besarnya nisbah bagi hasil/margin bagi
anggota koperasi, merupakan kesepakatan bersama dengan mempertimbangkan harga
pasar untuk sektor/bidang usaha UMK yang dibiayai.
Jaminan,
sesuai Undang-undang Perbankan dan ketentuan perbankan yang berlaku. Jaminan
anggota Koperasi, sesuai yang dipersyaratkan KJKS/UJKS-Koperasi. Akad
Pembiayaan kepada anggota koperasi, dilakukan oleh KJKS/UJKS-Koperasi. Jangka
waktu proses persetujuan kredit dalam rangka Linkage Program, maksimal 1
(satu)bulan setelah data dan persyaratan dipenuhi secara lengkap.
b. Model Channeling
1. Risiko pembiayaan kepada anggota
koperasi, apabila kegagalan pembiayaan karena kerugian bisnis secara normal (normal
business loss), maka risiko ditanggung oleh BUS/UUS;
2.
Distribusi
pendapatan :
-
BUS/UUS
memperoleh pendapatan dari nisbah bagi hasil/margin yang
disepakati dengan UMK;
-
KJKS/UJKS-Koperasi
mendapatkan fee yang besarnya disepakati antara BUS/UUS dengan
KJKS/UJKS-Koperasi;
3. Penentuan besarnya nisbah bagi
hasil/margin bagi anggota Koperasi, merupakan kesepakatan bersama dengan
mempertimbangkan harga pasar untuk sektor/bidang usaha UMK yang dibiayai;
4. Jaminan anggota Koperasi, sesuai
Undang-undang Perbankan dan ketentuan perbankan yang berlaku;
5. Akad pembiayaan kepada anggota
Koperasi, dilakukan oleh KJKS/UJKS-Koperasi untuk dan atas nama BUS/UUS;
6.
Jangka
waktu proses persetujuan kredit dalam rangka Linkage Program, maksimal 1
(satu) bulan setelah data dan persyaratan lengkap dipenuhi.
c. Model Joint Financing
1. Risiko pembiayaan kepada anggota
Koperasi, apabila kegagalan pembiayaan karena kegagalan bisnis secara normal (normal
business loss), maka risiko ditanggung bersama antara BUS/UUS dan
KJKS/UJKS-Koperasi sesuai dengan porsinya;
2.
Distribusi
pendapatan :
3. BUS/UUS memperoleh pendapatan
dari nisbah bagi hasil/margin yang disepakati dengan UMK. Pembagian
pendapatan antara BUS/UUS dengan KJKS/UJKS-Koperasi sesuai dengan porsi yang
disepakati.
4. Penentuan besarnya nisbah bagi
hasil/margin bagi anggota Koperasi, merupakan kesepakatan bersama dengan
mempertimbangkan harga pasar untuk sektor/bidang usaha UMK yang dibiayai.
5.
Jaminan
anggota Koperasi, sesuai Undang-undang Perbankan dan ketentuan perbankan yang
berlaku.
6. Akad kredit kepada anggota
Koperasi, dilakukan oleh KJKS/UJKS-Koperasi untuk dan atas nama BUS/UUS;
7. Jangka waktu proses persetujuan
kredit dalam rangka Linkage Program, maksimal 1 (satu) bulan setelah
data dan persyaratan lengkap dipenuhi.
4.3 Metode Manajemen Waqaf Bagi Linkage Program Sebagai
Pemberantas Kemiskinan Di Indonesia
Usaha Mikro, Kecil
dan Menengah (UMKM) sebagai
sektor yang lekat
dengan perbankan syariah tetap
menjadi prioritas penyaluran
dana perbankan syariah,
hal ini tercermin pada
alokasi pembiayaan baik modal
Gambar
4.3
Pembiayaan
UMKM oleh Perbankan Syariah
Sumber : Outlook perbankan Syariah
2011
kerja
maupun investasi ke
sektor tersebut yang mencapai
Rp.47,17 triliun dengan porsi 77,37%
dari total PYD bank umum dan unit
usaha syariah. Dominasi
pembiayaan kepada sektor
UMKM ini tidak
mengherankan mengingat
nature bank syariah
yang dekat ke
UMKM dan potensi
pasar sector tersebut terbesar
dan tersebar diseluruh pelosok tanah air.
Sejalan dengan
pertumbuhan PYD yang meningkat, laju
pertumbuhan pembiayaan
(modal kerja dan
investasi) sektor UMKM
juga meningkat pesat
dari 19,86% (yoy)
pada September 2009 menjadi
44,81% per September
2010. Peningkatan laju
pertumbuhan pembiayaan sektor
UMKM sejalan dengan program
pemerintah yang semakin memberikan kemudahan pada sektor UMKM
untuk semakin berkembang.
Penyaluran pembiayaan
kepada nasabah UMKM
dapat dilakukan secara
langsung maupun dengan cara
bermitra (Linkage Program) dengan
lembaga keuangan lain seperti BPRS dan koperasi. Linkage program
ini bisa dilakukan melalui skema Channeling,
Executing, atau Joint Financing. Disamping
itu bank syariah juga menjadi agen pemerintah untuk kredit program bagi
nasabah UMKM seperti Kredit Usaha Kecil (KUK), Kredit Usaha Tani (KUT), dan
Kredit Usaha Rakyat
(KUR). Dengan demikian
diharapkan potensi nasabah
UMKM dapat tergarap merata.
Selain itu,
dukungan BPRS dalam
menyalurkan pembiayaan UMKM
semakin kuat seiring dengan
peningkatan jumlah BPRS yang beroperasi di sebagian wilayah nusantara. Per
September 2010 jumlah BPRS telah mencapai 146 BPRS, dimana 8 BPRS diantaranya baru
beroperasi tahun ini
yaitu BPRS Gunung
Slamet, BPRS Amanah
Insan Cita, BPRS
Artha Pamenang, BPRS Mitra
Harmoni Yogyakarta, BPRS Rahmania Dana
Sejahtera, BPRS Rahma Syariah, BPRS
Mitra Harmoni Kota
Semarang, BPRS AR
Raihan. Total pembiayaan
yang disalurkan BPRS bertumbuh
24,76% dengan nilai
nominal sebesar Rp.1,98
trilyun dimana 56% diantaranya
merupakan pembiayaan kepada UMKM. 40
Sedangkan perkembangan
lain yang cukup menggembirakan adalah meningkatnya volume usaha BPRS sebesar
18,84% sehingga total assetnya per September 2010 mencapai Rp.2,52 trilyun
dengan intermediasi yang
berfungsi baik tercermin
dari Financing to Deposit Ratio (FDR) sampai dengan September 2010 telah
mencapai 135,82%. Selain itu kualitas
pembiayaan BPRS pada
periode yang sama
cenderung membaik dimana
rasio NPF net sebesar 6,12%,
atau lebih rendah
dibandingkan pada periode
yang sama tahun
2009 sebesar 6,65%.
Table 4.2 : Profil Keuangan BPRS
Sumber
: Outlook Perbankan syariah 2011
Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, wacana
wakaf tunai telah menjelma nyata dalam implementasi produk-produk funding
Lembaga Keuangan Syariah dan Lembaga Amil Zakat seperti Wakaf Tunai Dompet
Dhuafa Republika dan Waqtumu (Wakaf Tunai Muamalat) yang diluncurkan Baitul
Muamalat – Bank Muamalat Indonesia.
Dompet Dhuafa Rapublika sebagai salah satu lembaga
yang telah menjalankan wakaf tunai telah membuktikan potensi wakaf ini. Dalam
laporan keuangannya periode 1-30 Jumadil Awwal 1425 H telah berhasil
mengumpulkan dana wakaf sebesar 37.350.000 rupiah. Untuk wakaf tunai sendiri,
Dompet Dhuafa Republika telah mengeluarkan sertifikat wakaf tunai dengan
nominasi 1.000.000 – 5.000.000 rupiah. Hal ini memudahkan masyarakat untuk
berwakaf, karena nominasinya yang bisa dijangkau masyarakat tidak perlu
menunggu seperti dahulu untuk berwakaf (Anshori, 2005:100)
Pengelolaan dana wakaf tunai harus disadari merupakan
pengelolaan dana publik. Oleh karena itu, tidak saja pengelolaannya yang harus
dilakukan secara profesional, akan tetapi budaya transparasi serta
akuntabilitas merupakan factor yang harus diwujudkan. Sehingga dalam hal ini,
lembaga apapun yang telah memiliki budaya tersebut adalah lembaga yang paling
siap dalam mengemban pengelolaan wakaf tunai (Tim Depag, 2004:49)
Manajemen wakaf tunai melibatkan tiga pihak, yaitu:
1) Wakif (pemberi wakaf); 2) Nadzir (pengelolaan wakaf) yang juga bertindak
sebagai manajer investasi; 3) Maukuf alaih/beneficiary (masyarakat yang diberi
wakaf/peruntukan wakaf). Wakif akan memberikan hartanya (uang) sebagai wakaf
kepada lembaga pengelola wakaf dan keuntungannya didistribusikan kepada
masyarakat luas yang membutuhkan. Oleh karena itu, menurut M. Syafii Antonio
sebagaimana dikutip oleh Tim Depag (2004: 51-55), lembaga pengelola wakaf tunai
seyogyanya memenuhi criteria sebagai berikut:
Pertama, kemampuan akses kepada calon wakif. Calon
wakif tentunya mereka yang memiliki kelebihan likuiditas, terlepas seberapa
likuiditas tersebut. Saat ini umumnya kelebihan likuiditas masyarakat disimpan
di bank. Potensialitas calon wakif dapat dilihat oleh bank dengan mengamati
jumlah deposito, tabungan, atau mutasi giro yang bersangkutan, sehingga akses
ke calon wakif lebih mudah dilakukan oleh bank beserta jaringannya;
Kedua, kemampuan melakukan investasi dana wakaf.
Investasi wakaf tunai dapat dilakukan dengan berbagai jenis investasi, yaitu:
(a) Investasi Jangka Pendek: yaitu dalam bentuk mikro kredit. Bank-bank telah
mempunyai pengalaman dalam bentuk kerjasama dengan pemeriintah untuk
menyalurkan kredit mikro, seperti skim KPKM (Kredit Pengusaha Kecil dan Mikro)
dari Bank Indonesia (BI); (b) Investasi Jangka Menengah; yaitu industry/usaha
kecil. Dalam hal ini bank di Indonesia telah terbiasa dengan ketentuan adanya
beberapa skim kredit program KKPA, KKOP, dan KUK (sesuai keetentuan BI); (c)
Investasi Jangka Panjang: yaitu untuk industry manufaktur dan industry besar
lainnnya. Bank mempunyai pengalaman dalam melakukan investasi jangka panjangseperti
investasi pabrik dan perkebunan.
Kemampuan tersebut dimiliki oleh bank, karena bisnis
bank adalah menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan, baik pembiayaan investasi
maupun modal kerja.
Ketiga, kemampuan melakukan administrasi rekening
beneficiary. Nadzir sebagai pihak yang diberii amanah untuk mengelola dana
wakafsekaligus memberikan benefitnya kepada beneficiary, harus melakukan
administrasi yang cukup memadai dan menjamin bahwa setiap beneficiary
mendapatkan benefit atas dana wakaf tersebut. Administrasi ini membutuuhkan
teknologi da kemampuan SDM yang handal. Kemampuan SDM dan kecukupan teknologi
tersebut dimiliki oleh bank, dimana nature bisnisnya adalah mengelola
rekening-rekening nasabah. Teknologi bank juga cukup memadai untuk menampung
banyak data base beneficiary yang akan mendapatkan kredit.
Keempat, kemampuan melakukan distribusi hasil
investasi dana wakaf. Benefit hasil investasi dana wakaf harus didistribusikan
kepada beneficiary. Pendistribusian ini mengacu pada persyaratan yang diberikan
oleh wakif terhadap pihak yang berhak menerima benefit. Pihak pengelola dana
wakaf harus memastikan berapa besar benefit yang diterima. Hal ini menuntut
kemampuan administrasi dan teknologi, dan bank mempunyai kemampuan untuk itu.
Gambar 4.4
Skema
Manajemen Wakaf Pada Linkage Program
Bank syariah juga sudah mempunyai system profit
distribution, baik dengan konsep Pool of
Fund maupun Special Investment (mudharabah
muqayyadah) yang tidak dimiliki oleh bank konvensional, di mana system ini akan
memback-up pengelolaan dana wakaf tunai dengan menggunakan system voluntary
pool of fund. Benefit atas dana wakaf jika diijinkan oleh wakif dapat digunakan
sebagai dana bergulir untuk pemberdayaan ekonomi lemah. Hal ini sudah pernah
dipraktikkan oleh Bank Muamalat Indonesia bekerjasama dengan Depkop dan PKM dalam bentuk P2KER (Proyek
Pengembangan Kemandirian Ekonomi Rakyat) dengan binaan berupa Baitul Mal wat
Tamwil (BMT) dan koperasi Pondok Pesantren (KOPONTREN) di berbagai Provinsi.
Pengusaha kecil yang dibina oleh bank diharapkan dapat mengelola usahanya
secara professional dan akhirnya mendapatkan akses permodalan dari bank.
Kelima, mempunyai kredibilitas di mata masyarakat,
dan harus dikontrol dengan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga keuangan
semisal bank yang mampu menjadi nadzir harus memiliki kredibilitas di mata
masyarakat karena harus mampu menjalankan amanah untuk melakukan investasi dab
mendistribusikan benefit atas investasi dana wakaf, secara regulatif, bank
merupakan lembaga yang bersifat high regulated, diatur secara ketat oleh
otoritas moneter (BI), di mana otoritas moneter juga menjamin deposit
masyarakat di bank termasuk deposit wakaf. Kelebihan bank syariah dibandingkan
dengan bank konvensional adalah bahwabank konvensional adalah bahwa bank
syariah merupakan lembaga yaa yang bers bersifat syariah high regulated, di
mana Dewan
Pengawas Syariah (DPS) senantiasa memantau apakah operasional dan produk bank
syariah sudah sesuai dengan ketentuan syariah atau tidak.
BAB
V
PENUTUP
5.1. Simpulan
Berdasarkan data dan pembahasan yang telah dilakukan
dapat dibuat beberapa kesimpulan sebagai berikut :
1. Merintis
upaya pengendalian tingkat kemiskinan yang naik turun tidaklah semudah membalik
telapak tangan, dikarenakan naik turun inflasi yang mengakibatkan penduduk yang tergolong tidak miskin
banyak yang bergeser posisinya menjadi miskin. Ditambah lagi dengan.akses
yang rendah dalam sumber daya
dan aset produktif untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhan hidup, antara lain:
ilmu pengetahuan, informasi, teknologi, dan modal.
2. Linkage
Program telah berkembang dengan baik dan merupakan salah satu upaya
menanggulangi pembiayaan modal untuk usaha mikro. Linkage Program telah
membuktikan bahwa Bank Umum dapat pula menjangkau usaha mikro/masyarakat miskin
dengan tetap profitable dan aman.
Linkage Program juga sebagai bentuk
kepedulian sosial serta peluang pasar baru
3.
Pengelolaan dana wakaf yang merupakan
pengelolaan dana publik yang mempunyai keunggulan menyalurkan dana dalam bentuk
pembiayaan, baik pembiayaan investasi maupun penyertaan modal kerja.
5.2. Saran
Adapun saran yang dapat
disampaikan melalui karya tulis ini adalah :
1.
Pemerintah, bank umum dan LKM diharapkan mampu
menangani kebutuhan akan pengetahuan, informasi, teknologi, dan modal.
2.
Kemudahan akses dalam pembiayaan modal kerja
dari Bank Umum ke LKM melalui skema Linkage Program sangatlah dibutuhkan demi
terealisasinya konsep tersebut.
3.
Bangun sinergitas antara pemerintah, bank umum, dan
LKM dalam skema Linkage Program melalui manajemen wakaf guna menciptakan
pendistribusian dana kepada masyarakat atau UKMK yang diharapkan nantinya memperluas
lapangan kerja sehingga pemberantasan kemiskinan di Indonesia tidak hanya
sekedar wacana.
DAFTAR
PUSTAKA
Amin, Azwar. 2007. Kemitraan Usaha dalam Klaster Industri Kerajinan Anyaman di Kabupaten
Tasikmalaya. Tugas Akhir tidak dipublikasikan. Semarang : Universitas
Diponegoro (Undip).
Andriansyah,
Yuli. 2010. Kebijakan Pembiayaan
Perbankan Pada Umkm untuk Pemulihan Ekonomi Pasca Erupsi Merapi. Yogyakarta : Direktorat Penelitian dan
Pengembangan Masyarakat.
_______, Inovasi Kemitraan Perbankan
Syariah untuk Pengentasan Kemiskinan. Majalah Ekonomi
Syariah, volume 6, no 26, 2008
Ariyanto, Agus. 2002. Usaha Mikro dan Usaha Kecil Menengah. Document file.
Berita Resmi Statistik No. 43/07/Th. XII, 1
Juli 2009. Profil Kemiskinan di Indonesia
Maret 2009. Badan Pusat Statistik
Idat, Dhani Gunawan dkk. 2011. Outlook Perbankan Syariah Indonesia 2011. Jakarta : Direktorat
Perbankan Syariah
Maysita, Dian. 2009.
Designing
Waqf Management Systems for Microfinance Sector and Poverty Eradication in Indonesia. Durham University United Kingdom
Osman, ahmad zamri. 2010. Accountability of Waqf Management: Insight From Praxis of
Nongovernmental Organisation (NGO). London : Royal Holloway University
Permen
No. 03/Per/M.KUKM/III/2009 Pedoman Umum
Linkage Program Antara Bank Umum Dengan Koperasi. Jakarta : Menteri
Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan
Menengah Republik Indonesia.
Utomo, Budi Setiawan. Manajemen Efektif Dana Wakaf produktif. Rumah Zakat Indonesia.
Salam,
Abdul. 2004. Mendorong Akselerasi
Intermediasi kepada Usaha Mikro dan Kecil melalui Linkage Program. Jakarta
: Permodalan Nasional Madani.
0 komentar:
Posting Komentar